Ekspor Hilir Sawit Indonesia Tembus Rp 450 Triliun

oleh -201 Dilihat
oleh

SWARAJAMBI.NET –Selama dua dekade terakhir, industri komoditas kelapa sawit telah sukses mendominasi kinerja perekonomian Indonesia. Bahkan, komoditas kelapa sawit juga menjadi komoditas ekspor unggulan untuk menciptakan devisa negara dari ekspor produk yang bernilai tambah tinggi.

Menurut keterangan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, beragam jenis produk hilir sawit semakin meningkat signifikan. Pada tahun 2010 hanya terdapat 54 jenis, meningkat menjadi 193 jenis pada 2023.

Sementara itu, rasio ekspor bahan baku dan produk hilir sawit juga kian melonjak. Tahun 2010, rasionya 40 persen dan 60 persen (bahan baku dan produk hilir sawit), dan naik drastis menjadi 7 persen dan 93 persen pada 2023.

“Ini menandakan bahwa kebijakan hilirisasi berjalan dengan baik,” pungkas Putu, dikutip dari Disway.id, Kamis 21 November 2024.

Selanjutnya, dampak luas yang diberikan industri pengolahan sawit di Indonesia, antara lain terlihat dari jumlah penyerapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung sebanyak 17 juta orang.

Kemudian, sektor ini memberikan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 3,5 persen. Kepada total ekspor nonmigas, industri memberikan andil sebesar 11,6 persen atau senilai Rp 450 triliun sepanjang tahun 2023.

“Nilai ekonomi industri ini mencapai Rp 193 triliun pada triwulan II tahun 2024, dan diproyeksi akan menembus Rp 775 triliun hingga akhir tahun ini,” ungkap Putu.

Menurut Putu, potensi pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional masih sangat terbuka, khususnya pada pemanfaatan biomassa sawit yang selama ini masih belum optimal.

“Sebab saat ini, hilirisasi masih bertumpu pada pengolahan produk minyak sawit sehingga laju hilirisasi masih bergantung pada ketersediaan bahan baku minyak sawit mentah,” kata Putu.

Di sisi lain, pasokan minyak sawit mentah dari sektor perkebunan masih menghadapi tantangan, antara lain penurunan produktivitas akibat penyakit tanaman, kendala agroklimat dan perubahan iklim, penerapan gap yang belum optimal, dan luas perkebunan yang masuk usia tua sehingga perlu di-replanting.(*)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.